IPTEK DAN
SENI MENURUT ISLAM
1. Iptek Menurut Islam
Peran Islam dalam perkembangan iptek adalah bahwa
Syariah Islam harus dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram
(hukum-hukum syariah islam) wajib dijadikan tolok ukur dan pemanfaatan iptek,
bagaimana pun juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan adalah yang telah dihalalkan oleh syariah
islam. Sedangkan Iptek yang tidak boleh dimanfaatkan adalah yang telah
diharamkan. Akhlak yang baik muncul dari keimanan dan ketakwaan kepada Allah
SWT sumber segala kebaikan, Keindahan, dan Kemuliaan. Keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah SWT hanya akan muncul bila diawali dengan pemahaman ilmu pengetahuan dan pengenalan
terhadap Tuhan Allah SWT dan terhadap alam semesta sebagai tajaliyat
(manifestasi) sifat-sifat KeMahaMuliaan, Kekuasaan dan Keagungan-Nya.
Islam sebagai agama penyempurna dan paripurna bagi
kemanusiaan,sangat mendorong dan mementingkan umatnya untuk mempelajari,
mengamati, memahami dan merenungkan segala kejadian di alam semesta. Dengan
kata lain Islam sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuandan teknologi.
Berbeda dengan pandangan Barat yang melandasi pengembangan Ipteknya hanya untuk
mementingkan duniawi, maka Islam mementingkan penguasaan Iptek untuk menjadi
sarana ibadah atau pengabdian Muslim kepada Allah SWT dan mengembang amanat
Khalifatullah (wakil/mandataris Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada
manusia dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Ada lebih dari 800 ayat dalam
Al-Quran yang mementingkan proses
perenungan, pemikiran, dan pengamatan tehadap berbagai gejala alam, untuk di
tafakuri dan menjadi bahan dzikir kepada Allah.
Bila ada pemahaman atau tafsiran ajaran agama Islam
yang menentang fakta ilmiah, maka kemumgkinan yang salah adalah pemahaman dan
tafsiran terhadap ajaran agama tersebut. Bila ada ilmu pengetahuan yang
menentang prinsip pokok ajaran agama Islam maka yang salah adalah tafsiran
filosofis atau paradigma materialisme yang beradadi balik wajah ilmu
pengetahuan modern tersebut. Karena alam semesta yang dipelajari melalui ilmu
pengetahuan dan ayat-ayat suci Tuhan( Al-Quran) dan Sunnah Rasulullah SAW yang
di pelajari melalui agama adalah sama-sama ayat (tanda-tanda dan perwujudan )
Allah SWT, maka tidak mungkin satu sama lain saling bertentangan dan bertolak belakang, karena keduanya
berasal dari satu sumber sama, Allah Yang Maha Pencipta dan Pemelihara seluruh
Alam Semesta.
a. Kewajiban Mencari Ilmu
Pada dasarnya kita hidup didunia ini tidak lain adalah
untuk beribadah kepada Allah. Tentunya beribadah dan beramal harus berdasarkan
ilmu yang ada di Al-Qur’an dan Al-Hadist. Tidak akan tersesat bagi siapa saja
yang berpegang teguh dan sungguh-sungguh perpedoman pada Al-Qur’an dan
Al-Hadist.
Disebutkan dalam hadist, bahwasanya ilmu yang wajib dicari seorang muslim ada 3, sedangkan yang lainnya akan menjadi fadhlun (keutamaan). Ketiga ilmu tersebut adalah ayatun muhkamatun (ayat-ayat Al-Qur’an yang menghukumi), sunnatun qoimatun (sunnah dari Al-hadist yang menegakkan) dan faridhotun adilah (ilmu bagi waris atau ilmu faroidh yang adil)
Disebutkan dalam hadist, bahwasanya ilmu yang wajib dicari seorang muslim ada 3, sedangkan yang lainnya akan menjadi fadhlun (keutamaan). Ketiga ilmu tersebut adalah ayatun muhkamatun (ayat-ayat Al-Qur’an yang menghukumi), sunnatun qoimatun (sunnah dari Al-hadist yang menegakkan) dan faridhotun adilah (ilmu bagi waris atau ilmu faroidh yang adil)
Dalam sebuah hadist rasulullah bersabda, “ mencari
ilmu itu wajib bagi setiap muslim, dan orang yang meletakkan ilmu pada selain
yang ahlinya bagaikan menggantungkan permata dan emas pada babi hutan.”(HR. Ibnu Majah dan lainya)
Juga pada hadist rasulullah yang lain,”carilah ilmu
walau sampai ke negeri cina”. Dalam hadist ini kita tidak dituntut mencari
ilmu ke cina, tetapi dalam hadist ini rasulullah menyuruh kita mencari ilmu
dari berbagai penjuru dunia. Walau jauh ilmu haru tetap dikejar.
Dalam kitab “ Ta’limul muta’alim” disebutkan
bahwa ilmu yang wajib dituntut trlebih dahulu adalah ilmu haal yaitu ilmu yang
dseketika itu pasti digunakan dal diamalkan bagi setiap orang yang sudah
baligh. Seperti ilmu tauhid dan ilmu fiqih. Apabila kedua bidang ilmu itu telah
dikuasai, baru mempelajari ilmu-ilmu lainya, misalnya ilmu kedokteran, fisika,
matematika, dan lainya.
Kadang-kadang orang lupa dalam mendidik anaknya,
sehingga lebih mengutamakan ilmu-ilmu umum daripada ilmu agama. Maka anak
menjadi orang yang buta agama dan menyepelekan kewajiban-kewajiban agamanya.
Dalam hal ini orang tua perlu sekali memberikan bekal ilmu keagamaan sebelum
anaknya mempelajari ilmu-ilmu umum.
Dalam hadist yang lain Rasulullah bersabda, “sedekah
yang paling utama adalah orang islam yang belajar suatu ilmu kemudian diajarkan
ilmu itu kepada orang lain.”(HR. Ibnu Majah)
Maksud hadis diatas adalah lebih utama lagi orang yang
mau menuntut ilmu kemudian ilmu itu diajarkan kepada orang lain. Inilah sedekah yang paling utama dibanding sedekah harta benda. Ini dikarenakan mengajarkan ilmu, khususnya
ilmu agama, berarti menenan amal yang muta’adi (dapat berkembang) yang
manfaatnya bukan hanya dikenyam orang yang diajarkan itu sendiri, tetapi dapat
dinikmati orang lain
b. Interaksi iman, ilmu dan amal
Dalam pandangan Islam, antara agama, ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang
terinteraksi ke dalam suatu sistem yang disebut dinul Islam, didalamnya
terkandung tiga unsur pokok yaitu akidah, syariah, dan akhlak dengan kata lain
iman, ilmu dan amal shaleh.
Islam merupakan ajaran agama yang sempurna, karena
kesempurnaannya dapat tergambar dalam keutuhan inti ajarannya. Di dalam
al-Qur’an dinyatakan yang artinya “Tidaklah kamu memperhatikan bagaimana Allah
telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (dinul Islam) seperti sebatang
pohon yang baik, akarnya kokoh (menghujam kebumi) dan cabangnya menjulang ke
langit, pohon itu mengeluarkan buahnya setiap muslim dengan seizin Tuhannya.
Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia agar mereka
ingat”.
Dari penjelasan tersebut di atas menggambarkan
keutuhan antara iman, ilmu dan amal atau syariah dan akhlak dengan
menganalogikan dinul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik. Ini merupakan
gambaran bahwa antara iman, ilmu dan amal merupakan suatu kesatuan yang utuh
tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Iman diidentikkan dengan akar
dari sebuah pohon yang menupang tegaknya ajaran Islam, ilmu bagaikan batang
pohon yang mengeluarkan dahan. Dahan dan cabang-cabang ilmu pengetahuan.
Sedangkan amal ibarat buah dari pohon itu ibarat dengan teknologi dan seni.
IPTEKS yang dikembangkan di atas nilai-nilai iman dan ilmu akan menghasilkan
amal shaleh bukan kerusakan alam.
c. Keutamaan orang yang berilmu
Orang yang berilmu mempunyai
kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah dan masyarakat. Al-Quran
menggelari golongan ini dengan berbagai gelaran mulia dan terhormat yang
menggambarkan kemuliaan dan ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah SWT dan
makhluk-Nya. Mereka digelari sebagai “al-Raasikhun fil Ilm” (Al Imran :
7), “Ulul al-Ilmi” (Al Imran : 18), “Ulul al-Bab” (Al Imran :
190), “al-Basir” dan “as-Sami' “ (Hud : 24), “al-A'limun”
(al-A'nkabut : 43), “al-Ulama” (Fatir : 28), “al-Ahya' “ (Fatir :
35) dan berbagai nama baik dan gelar mulia lain.
Dalam surat
ali Imran ayat ke-18, Allah SWT berfirman:
"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia
(yang berhak disembah), Yang menegakkan
keadilan. Para Malaikat dan orang- orang yang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan
Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". Dalam ayat ini ditegaskan pada golongan orang berilmu bahwa mereka
amat istimewa di sisi Allah SWT . Mereka
diangkat sejajar dengan para malaikat
yang menjadi saksi Keesaan Allah SWT. Peringatan Allah dan Rasul-Nya sangat
keras terhadap kalangan yang menyembunyikan kebenaran/ilmu, sebagaimana
firman-Nya: "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan
dilaknati pula oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati." (Al-Baqarah: 159) Rasulullah saw juga bersabda: "Barangsiapa
yang menyembunyikan ilmu, akan dikendali mulutnya oleh Allah pada hari kiamat
dengan kendali dari api neraka." (HR Ibnu Hibban di dalam kitab sahih
beliau. Juga diriwayatkan oleh Al-Hakim. Al Hakim dan adz-Dzahabi berpendapat
bahwa hadits ini sahih) Jadi setiap
orang yang berilmu harus mengamalkan ilmunya agar ilmu yang ia peroleh dapat
bermanfaat. Misalnya dengan cara mengajar atau mengamalkan pengetahuanya untuk
hal-hal yang bermanfaat.
d. Tanggung jawab ilmuwan terhadap alam
Manusia, sebagaimana makhluk lainnya, memiliki
ketergantungan terhadap alam. Namun, di sisi lain, manusia justru suka merusak
alam. Bahkan tak cukup merusak, juga menhancurkan hingga tak bersisa. Tiap
sebentar kita mendengar berita menyedihkan tentang kerusakan baru yang timbul
pada sumber air, gunung atau laut. Para ilmuwan mengumumkan ancaman meluasnya
padang pasir, semakin berkurangnya hutan, berkurangnya cadangan air minum,
menipisnya sumber energi alam, dan semakin punahnya berbagai jenis tumbuhan dan
hewan.
Sayangnya, meski nyata terasa dampak akibat kerusakan
tersebut, sebagian besar manusia sulit menyadarinya. Mereka berdalih apa yang
mereka lakukan adalah demi kepentingan masa depan. Padahal yang terjadi justru
sebaliknya; tragedi masa depan itu sedang berjalan di depan kita. Dan, kitalah
sesungguhnya yang menjadi biang kerok dari tragedi masa depan tersebut. Manusia
telah diperingatkan Allah SWT dan Rasul-Nya agar jangan melakukan kerusakan di
bumi. Namun, manusia mengingkari peringatan tersebut.
Allah SWT menggambarkan situasi ini dalam Al-Qur’an: “Dan bila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’, mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al-Baqarah:11)
Allah SWT juga mengingatkan manusia: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)’. Katakanlah, ‘Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).’’ (QS Ar-ruum: 41-42)
Allah SWT menggambarkan situasi ini dalam Al-Qur’an: “Dan bila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’, mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al-Baqarah:11)
Allah SWT juga mengingatkan manusia: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)’. Katakanlah, ‘Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).’’ (QS Ar-ruum: 41-42)
Pada masa sekarang pendidikan
lingkungan menjadi mutlak diperlukan. Tujuannya mengajarkan kepada masyarakat
untuk menjaga jangan sampai berbagai unsur lingkungan menjadi hancur, tercemar,
atau rusak. Untuk itu manusia sebagai khalifah di bumi dan sebagai ilmuwan
harus bisa melestarikan alam. Mungkin bisa dengan cara mengembangkan teknlogi
ramah lingkungan, teknologi daur ulang, dan harus bisa memanfaatkan sumber daya
alam dengan bijak..
e.
Penyikapan terhadap Perkembangan IPTEK
Setiap
manusia diberikan hidayah dari Allah SWT berupa “alat” untuk mencapai dan
membuka kebenaran. Hidayah tersebut adalah :
a. indera, untuk menangkap kebenaran fisik,
b. naluri, untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan
hidup manusia secara probadi maupun sosial
c. pikiran dan atau kemampuan rasional yang mampu
mengembangkan kemampuan tiga jenis pengetahuan akali (pengetahuan biasa, ilmiah
dan filsafi). Akal juga merupakan penghantar untuk menuju kebenaran tertinggi
d. imajinasi,
daya khayal yang mampu menghasilkan kreativitas dan menyempurnakan
pengetahuannya
e. hati nurani, suatu kemampuan manusia untuk
dapat menangkap kebenaran tingkah laku manusia sebagai makhluk yang harus
bermoral.
Dalam
menghadapi perkembangan budaya manusia dengan perkembangan IPTEK yang sangat
pesat, dirasakan perlunya mencari keterkaitan antara sistem nilai dan
norma-norma Islam dengan perkembangan tersebut. Menurut Mehdi Ghulsyani (1995),
dalam menghadapi perkembangan IPTEK ilmuwan muslim dapat dikelompokkan dalam
tiga kelompok:
Ø Kelompok yang menganggap IPTEK
moderen bersifat netral dan berusaha melegitimasi hasil-hasil IPTEK moderen
dengan mencari ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai;
Ø Kelompok yang bekerja dengan IPTEK
moderen, tetapi berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmu agar dapat
menyaring elemen-elemen yang tidak islami,
Ø Kelompok yang percaya adanya IPTEK
Islam dan berusaha membangunnya.
Untuk kelompok
ketiga ini memunculkan nama Al-Faruqi yang mengintrodusir istilah “islamisasi
ilmu pengetahuan”. Dalam konsep Islam pada dasarnya tidak ada pemisahan yang
tegas antara ilmu agama dan ilmu non-agama. Sebab pada dasarnya ilmu
pengetahuan yang dikembangkan manusia merupakan “jalan” untuk menemukan kebenaran
Allah itu sendiri. Sehingga IPTEK menurut Islam haruslah bermakna ibadah. Yang
dikembangkan dalam budaya Islam adalah bentuk-bentuk IPTEK yang mampu
mengantarkan manusia meningkatkan derajat spiritialitas, martabat manusia
secara alamiah. Bukan IPTEK yang merusak alam semesta, bahkan membawa manusia
ketingkat yang lebih rendah martabatnya.
Dari uraian
di atas “hakekat” penyikapan IPTEK dalam kehidupan sehari-hari yang islami
adalah memanfaatkan perkembangan IPTEK untuk meningkatkan martabat manusia dan
meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT. Kebenaran IPTEK menurut Islam
adalah sebanding dengan kemanfaatannya IPTEK itu sendiri.
IPTEK akan bermanfaat apabila:
a. Mendekatkan
pada kebenaran Allah dan bukan menjauhkannya
b. Dapat
membantu umat merealisasikan tujuan-tujuannya (yang baik),
c. Dapat
memberikan pedoman bagi sesama,
d. Dapat
menyelesaikan persoalan umat. Dalam konsep Islam sesuatu hal dapat dikatakan
mengandung kebenaran apabila ia mengandung manfaat dalam arti luas.
f. Keselarasan IMTAQ dan IPTEK
“Barang siapa ingin menguasai dunia dengan ilmu,
barang siapa ingin menguasai akhirat dengan ilmu, dan barang siapa ingin
menguasai kedua-duanya juga harus dengan ilmu” (Al-Hadist). Perubahan
lingkungan yang serba cepat dewasa ini sebagai dampak globalisasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), harus diakui telah
memberikan kemudahan terhadap berbagai aktifitas dan kebutuhan hidup manusia.
Di sisi lain, memunculkan kekhawatiran terhadap perkembangan perilaku khususnya
para pelajar dan generasi muda kita, dengan tumbuhnya budaya kehidupan baru
yang cenderung menjauh dari nilai-nilai spiritualitas. Semuanya ini menuntut
perhatian ekstra orang tua serta pendidik khususnya guru, yang kerap bersentuhan
langsung dengan siswa.
Dari sisi positif, perkembangan iptek telah
memunculkan kesadaran yang kuat pada sebagian pelajar kita akan pentingnya
memiliki keahlian dan keterampilan. Utamanya untuk menyongsong kehidupan masa
depan yang lebih baik, dalam rangka mengisi era milenium ketiga yang disebut
sebagai era informasi dan era bio-teknologi. Ini sekurang-kurangnya telah
memunculkan sikap optimis, generasi pelajar kita umumya telah memiliki kesiapan
dalam menghadapi perubahan itu. Don Tapscott, dalam bukunya Growing up Digital
(1999), telah melakukan survei terhadap para remaja di berbagai negara. Ia
menyimpulkan, ada sepuluh ciri dari generasi 0 (zero), yang akan mengisi masa
tersebut. Ciri-ciri itu, para remaja umumnya memiliki pengetahuan memadai dan
akses yang tak terbatas. Bergaul sangat intensif lewat internet, cenderung
inklusif, bebas berekspresi, hidup didasarkan pada perkembangan teknologi,
sehingga inovatif, bersikap lebih dewasa, investigative arahnya pada how use
something as good as possible bukan how does it work.
Sikap optimis terhadap keadaan sebagian pelajar ini
tentu harus diimbangi dengan memberikan pemahaman, arti penting mengembangkan
aspek spiritual keagamaan dan aspek pengendalian emosional. Sehingga tercapai
keselarasan pemenuhan kebutuhan otak dan hati (kolbu). Penanaman kesadaran
pentingnya nilai-nilai agama memberi jaminan kepada siswa akan kebahagiaan dan
keselamatan hidup, bukan saja selama di dunia tapi juga kelak di akhirat. Jika
hal itu dilakukan, tidak menutup kemungkinan para siswa akan terhindar dari
kemungkinan melakukan perilaku menyimpang, yang justru akan merugikan masa
depannya serta memperburuk citra kepelajarannya. Amatilah pesta tahunan pasca
ujian nasional, yang kerap dipertontonkan secara vulgar oleh sebagian para
pelajar. Itulah salah satu contoh potret buram kondisi sebagian komunitas
pelajar kita saat ini. Untuk itu, komponen penting yang terlibat dalam
pembinaan keimanan dan ketakwaan (imtak) serta akhlak siswa di sekolah adalah
guru. Kendati faktor lain ikut mempengaruhi, tapi dalam pembinaan siswa harus
diakui guru faktor paling dominan. Ia ujung tombak dan garda terdepan, yang
memberi pengaruh kuat pada pembentukan karakter siswa. Kepada guru harapan
tercapainya tujuan pendidikan nasional disandarkan. Ini sebagaimana termaktub
dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Intinya, para pelajar kita disiapkan agar menjadi manusia beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri. Sekaligus jadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan sebenarnya mengisyaratkan, proses
dan hasil harus mempertimbangkan keseimbangan dan keserasian aspek pengembangan
intelektual dan aspek spiritual (rohani), tanpa memisahkan keduanya secara
dikhotomis. Namun praktiknya, aspek spiritual seringkali hanya bertumpu pada
peran guru agama. Ini dirasakan cukup berat, sehingga pengembangan kedua aspek
itu tidak berproses secara simultan. Upaya melibatkan semua guru mata ajar agar
menyisipkan unsur keimanan dan ketakwaan (imtak) pada setiap pokok bahasan yang
diajarkan, sesungguhnya telah digagas oleh pihak Departeman Pendidikan Nasional
maupun Departemen Agama. Survei membuktikan, mengintegrasikan unsur ‘imtaq’ pada
mata ajar selain pendidikan agama adalah sesuatu yang mungkin. Namun dalam
praktiknya, target kurikulum yang menjadi beban setiap guru yang harus tuntas
serta pemahaman yang berbeda dalam menyikapi muatan-muatan imtaq yang harus
disampaikan, menyebabkan keinginan menyisipkan unsur imtak menjadi terabaikan.
Memang tak ada sanksi apapun jika seorang guru selain guru agama tidak
menyisipkan unsur imtaq pada pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Jujur
saja guru umumnya takut salah jika berbicara masalah agama, mereka mencari aman
hanya mengajarkan apa yang menjadi tanggung jawabnya.
Sesungguhnya ia bukan sekadar tanggung jawab guru
agama, tapi tanggung jawab semuanya. Dalam kacamata Islam, kewajiban
menyampaikan kebenaran agama kewajiban setiap muslim yang mengaku beriman
kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
2. Seni Menurut Islam
a. Definisi Seni Menurut Islam
Kata “seni” adalah sebuah kata yang semua orang di
pastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda. Konon kata
seni berasal dari kata “SANI” yang kurang lebih artinya “Jiwa Yang Luhur/
Ketulusan jiwa”. Namun menurut kajian ilimu di Eropa mengatakan “ART”
(artivisial) yang artinya kurang lebih adalah barang/ atau karya dari sebuah
kegiatan.
Pandangan
Islam tentang seni. Seni merupakan ekspresi keindahan. Dan keindahan menjadi
salah satu sifat yang dilekatkan Allah pada penciptaan jagat raya ini. Allah
melalui kalamnya di Al-Qur’an mengajak manusia memandang seluruh jagat raya
dengan segala keserasian dan keindahannya. Allah berfirman: “Maka apakah
mereka tidak melihat ke langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami
meninggikannya dan menghiasinya, dan tiada baginya sedikit pun retak-retak?” [QS
50: 6].
Allah itu
indah dan menyukai keindahan. Inilah prinsip yang didoktrinkan Nabi saw.,
kepada para sahabatnya. Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda
:
“Tidak masuk surga orang yang di dalam
hatinya terbetik sifat sombong seberat atom.” Ada orang berkata,” Sesungguhnya seseorang senang berpakaian
bagus dan bersandal bagus.” Nabi bersabda,” Sesungguhnya Allah Maha Indah, menyukai keindahan. Sedangkan sombong
adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim).
Bahkan salah satu mukjizat Al-Qur’an adalah bahasanya yang sangat indah,
sehingga para sastrawan arab dan bangsa arab pada umumnya merasa kalah
berhadapan dengan keindahan sastranya, keunggulan pola redaksinya, spesifikasi
irama, serta alur bahasanya, hingga sebagian mereka menyebutnya sebagai sihir.
Dalam membacanya, kita dituntut untuk menggabungkan keindahan suara dan akurasi
bacaannya dengan irama tilawahnya sekaligus.
Rasulullah bersabda :
“Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Darimi)
Rasulullah bersabda :
“Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Darimi)
Maka manusia
menyukai kesenian sebagai representasi dari fitrahnya mencintai keindahan. Dan
tak bisa dipisahkan lagi antara kesenian dengan kehidupan manusia. Namun
bagaimana dengan fenomena sekarang yang ternyata dalam kehidupan sehari-hari
nyanyian-nyanyian cinta ataupun gambar-gambar seronok yang diklaim
sebagai seni oleh sebagian orang semakin marak menjadi konsumsi orang-orang
bahkan anak-anak.Sebaiknya di kembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Bahwa dalam Al-Qur’an disebutkan :
“Dan
diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan
jalan Allah itu sebagai olok-olokan. Mereka itu memperoleh azab yang
menghinakan.” (Luqman:6)
Jikalau
kata-kata dalam nyanyian itu merupakan perkataan-perkataan yang tidak berguna
bahkan menyesatkan manusia dari jalan Allah, maka HARAM nyanyian tersebut.
Nyanyian-nyanyian yang membuat manusia terlena, mengkhayalkan hal-hal yang
tidak patut maka kesenian tersebut haram hukumnya.
Pendapat tentang pengertian seni dalam Islam
.
Menurut
Seyyed Hossein Nasr, seni Islam merupakan hasil dari pengejawantahan Keesaan
pada bidang keanekaragaman. Artinya seni Islam sangat terkait dengan
karakteristik-karakteristik tertentu dari tempat penerimaan wahyu al-Qur’an yang dalam
hal ini adalah masyarakat Arab. Jika demikian, bisa jadi seni Islam adalah seni
yang terungkap melalui ekspresi budaya lokal yang senada dengan tujuan Islam.
Sementara itu, bila kita merujuk pada akar makna Islam yang berarti
menyelamatkan ataupun menyerahkan diri, maka bisa jadi yang namanya seni Islam
adalah ungkapan ekspresi jiwa setiap manusia yang termanifestasikan dalam
segala macam bentuknya, baik seni ruang maupun seni suara yang dapat membimbing
manusia kejalan atau pada nilai-nilai ajaran Islam.
Di sisi lain, dalam Ensiklopedi
Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung
dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi kedalam
bentuk yang dapat ditangkap oleh indra pendengaran (seni suara), penglihatan
(seni lukis dan ruang), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari dan
drama).
Dari difinisi yang kedua ini bisa jadi seni Islam adalah ekspresi jiwa kaum muslim yang terungkap melalui bantuan alat instrumental baik berupa suara maupun ruang. Hal ini juga bisa kita lihat dalam catatan sejarah bahwa dalam perkembangannya baik seni suara maupun ruang termanifestasikan.
Dari difinisi yang kedua ini bisa jadi seni Islam adalah ekspresi jiwa kaum muslim yang terungkap melalui bantuan alat instrumental baik berupa suara maupun ruang. Hal ini juga bisa kita lihat dalam catatan sejarah bahwa dalam perkembangannya baik seni suara maupun ruang termanifestasikan.
Dengan definisi demikian, maka setiap perkembangan seni baik pada masa lampau maupun masa kini bisa dikatakan seni Islam asalkan memenuhi kerangka dasar dari difinisi-difinisi di atas. Dengan kata lain, seni bisa kita kategorikan seni Islam bukan terletak pada dimana dan kapan seni tersebut termanifestasikan, melainkan pada esensi dari ajaran-ajaran Islam yang terejahwantah dalam karya seni tersebut.
d. Pendapat Tentang Seni Menurut
Para Ulama
1. Imām
Asy-Syaukānī, dalam kitabnya NAIL-UL-AUTHĀR menyatakan sebagai
berikut:
a. Para ‘ulamā’ berselisih pendapat tentang hukum
menyanyi dan alat musik. Menurut
mazhab Jumhur adalah harām, sedangkan mazhab Ahl-ul-Madīnah,
Azh-Zhāhiriyah dan jamā‘ah Sūfiyah memperbolehkannya.
b. Abū
Mansyūr Al-Baghdādī (dari mazhab Asy-Syāfi‘ī) menyatakan: "‘ABDULLĀH BIN
JA‘FAR berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi masalah.
Dia sendiri
pernah menciptakan sebuah lagu untuk dinyanyikan para pelayan (budak) wanita
(jawārī) dengan alat musik seperti rebab. Ini terjadi pada masa Amīr-ul-Mu’minīn
‘Alī bin Abī Thālib r.a.
c.
Imām Al-Haramain di dalam kitābnya AN-NIHĀYAH menukil dari para ahli sejarah
bahwa ‘Abdullāh bin Az-Zubair memiliki beberapa jāriyah (wanita budak) yang
biasa memainkan alat gambus. Pada suatu hari Ibnu ‘Umar datang kepadanya dan
melihat gambus tersebut berada di sampingnya. Lalu Ibnu ‘Umar bertanya:
"Apa ini wahai shahābat Rasūlullāh? " Setelah diamati sejenak, lalu
ia berkata: "Oh ini barangkali timbangan buatan negeri Syām,"
ejeknya. Mendengar itu Ibnu Zubair berkata: "Digunakan untuk menimbang
akal manusia."
d.
Ar-Ruyānī meriwayatkan dari Al-Qaffāl bahwa mazhab Maliki membolehkan menyanyi
dengan ma‘āzif (alat-alat musik yang berdawai).
e. Abū
Al-Fadl bin Thāhir mengatakan: "Tidak ada perselisihan pendapat antara
ahli Madīnah tentang, menggunakan alat gambus. Mereka berpendapat boleh
saja." Ibnu An Nawawi di dalam kitabnya AL-‘UMDAH mengatakan bahwa para
shahābat Rasūlullāh yang membolehkan menyanyi dan mendengarkannya antara lain
‘Umar bin Khattāb, ‘Utsmān bin ‘Affān, ‘Abd-ur-Rahmān bin ‘Auf, Sa‘ad bin Abī
Waqqās dan lain-lain. Sedangkan dari tābi‘īn antara lain Sa‘īd bin Musayyab,
Salīm bin ‘Umar, Ibnu Hibbān, Khārijah bin Zaid, dan lain-lain.
2 Abū Ishāk
Asy-Syirāzī dalam kitābnya AL-MUHAZZAB
a.
Diharāmkan menggunakan alat-alat permainan yang membangkitkan hawa nafsu
seperti alat musik gambus, tambur (lute), mi‘zah (sejenis piano), drum dan
seruling.
b.
Boleh memainkan rebana pada pesta perkawinan dan khitanan. Selain dua acara
tersebut tidak boleh.
c. Dibolehkan
menyanyi untuk merajinkan unta yang sedang berjalan.
3.
Al-Alūsī dalam tafsīrnya RŪH-UL-MA‘ĀNĪ
a.
Al-Muhāsibi di dalam kitābnya AR-RISĀLAH berpendapat bahwa menyanyi itu harām
seperti harāmnya bangkai.
b.
Ath-Thursusi menukil dari kitāb ADAB-UL-QADHA bahwa Imām Syāf‘ī berpendapat
menyannyi itu adalah permainan makrūh yang menyerupai pekerjaan bāthil (yang
tidak benar). Orang yang banyak mengerjakannya adalah orang yang tidak beres
pikirannya dan ia tidak boleh menjadi saksi.
c.
Al-Manawi mengatakan dalam kitābnya: ASY-SYARH-UL-KABĪR bahwa menurut
mazhab Syāfi‘ī menyanyi adalah makrūh tanzīh yakni lebih baik ditinggalkan
daripada dikerjakan agar dirinya lebih terpelihara dan suci. Tetapi perbuatan
itu boleh dikerjakan dengan syarat ia tidak khawatir akan terlibat dalam
fitnah.
d.
Dari murīd-murīd Al-Baghāwī ada yang berpendapat bahwa menyanyi itu harām
dikerjakan dan didengar.
e.
Ibnu Hajar menukil pendapat Imām Nawawī dan Imām Syāfi‘ī yang mengatakan
bahwa harāmnya (menyanyi dan main musik) hendaklah dapat dimengerti karena hāl
demikian biasanya disertai dengan minum arak, bergaul dengan wanita, dan semua
perkara lain yang membawa kepada maksiat. Adapun nyanyian pada saat bekerja, seperti
mengangkut suatu yang berat, nyanyian orang ‘Arab untuk memberikan semangat
berjalan unta mereka, nyanyian ibu untuk mendiamkan bayinya, dan nyanyian
perang, maka menurut Imām Awzā‘ī adalah sunat.
f.
Jamā‘ah Sūfiah berpendapat boleh menyanyi dengan atau tanpa iringan alat-alat
musik.
g.
Sebagian ‘ulamā’ berpendapat boleh menyanyi dan main alat musik tetapi hanya
pada perayaan-perayaan yang memang dibolehkan Islam, seperti pada pesta
pernikahan, khitanan, hari raya dan hari-hari lainnya.
h.
Al-‘Izzu bin ‘Abd-us-Salām berpendapat, tarian-tarian itu bid‘ah. Tidak ada
laki-laki yang mengerjakannya selain orang yang kurang waras dan tidak pantas,
kecuali bagi wanita. Adapun nyanyian
yang baik dan dapat mengingatkan orang kepada ākhirat tidak mengapa bahkan
sunat dinyanyikan.
i.
Imām Balqinī berpendapat tari-tarian yang dilakukan di hadapan orang banyak
tidak harām dan tidak pula makrūh karena tarian itu hanya merupakan
gerakan-gerakan dan belitan serta geliat anggota badan. Ini telah dibolehkan Nabi s.a.w. kepada orang-orang Habsyah di dalam
masjid pada hari raya.
j.
Imām Al-Mawardī berkata: "Kalau kami mengharamkan nyanyian dan
bunyi-bunyian alat-alat permainan itu maka maksud kami adalah dosa kecil bukan
dosa besar."
4. ‘ABD-UR-RAHMĀN AL-JAZARĪ di
dalam kitabnya AL-FIQH ‘ALĀ AL-MADZĀHIB-IL ARBA‘A , menyatakan:
a.
‘Ulamā’-‘ulamā’ Syāfi‘iyah seperti yang diterangkan oleh Al-Ghazali di dalam
kitab IHYA ULUMIDDIN. Beliau berkata: "Nash nash syara' telah menunjukkan
bahwa menyanyi, menari, memukul rebana sambil bermain dengan perisai dan
senjata-senjata perang pada hari raya adalah mubah (boleh) sebab hari seperti
itu adalah hari untuk bergembira. Oleh karena itu hari bergembira dikiaskan
untuk hari-hari lain, seperti khitanan dan semua hari kegembiraan yang memang
dibolehkan syara'.
b.
Al-Ghazali mengutip perkataan Imam Syafi'i yang mengatakan bahwa sepanjang
pengetahuannya tidak ada seorangpun dari para ulama Hijaz yang benci
mendengarkan nyanyian, suara alat-alat musik, kecuali bila di dalamnya
mengandung hal-hal yang tidak baik. Maksud ucapan tersebut adalah bahwa
macam-macam nyanyian tersebut tidak lain nyanyian yang bercampur dengan hal-hal
yang telah dilarang oleh syara'.
c.
Para ulama Hanfiyah mengatakan bahwa nyanyian yang diharamkan itu adalah
nyanyian yang mengandung kata-kata yang tidak baik (tidak sopan), seperti
menyebutkan sifat-sifat jejaka (lelaki bujang dan perempuan dara), atau
sifat-sifat wanita yang masih hidup ("menjurus" point, lead in
certain direction, etc.). Adapun nyanyian yang memuji keindahan bunga, air
terjun, gunung, dan pemandangan alam lainya maka tidak ada larangan sama
sekali. Memang ada orang orang yang menukilkan pendapat dari Imam Abu Hanifah
yang mengatakan bahwa ia benci terhadap nyanyian dan tidak suka
mendengarkannya. Baginya orang-orang yang mendengarkan nyanyian dianggapnya
telah melakukan perbuatan dosa. Di sini harus dipahami bahwa nyanyian yang
dimaksud Imam Hanafi adalah nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang
dilarang syara'.
d.
Para ulama Malikiyah mengatakan bahwa alat-alat permainan yang digunakan untuk
memeriahkan pesta pernikahan hukumnya boleh. Alat musik khusus untuk momen
seperti itu misalnya gendang, rebana yang tidak memakai genta, seruling dan
terompet.
e.
Para ulama Hanbaliyah mengatakan bahwa tidak boleh menggunakan alat-alat musik,
seperti gambus, seruling, gendang, rebana, dan yang serupa dengannya. Adapun
tentang nyanyian atau lagu, maka hukumnya boleh. Bahkan sunat melagukannya
ketika membacakan ayat-ayat Al-Quran asal tidak sampai mengubah aturan-aturan
bacaannya
Kontribusi Iptek dan Seni Bagi Dakwah Islam
Kontribusi Terhadap Dakwah
Kontribusi
adalah kesejahteraan dan kemakmuran
material (fisikal) yang di hasilkan oleh perkembangan iptek moderen
membuat orang mengagumi meniru gaya hidup peradaban orang barat samapidi barengi
sikap kritis terhadap segala dampak negatif
yang diakibatkannya, bukan hanya bidang iptek saja tetapi dalam bidang
seni juga.
Dalam
kontribusi iptek dan seni dalam dakwah islam banyak memberikan perkembangan di
dalam dakwahnya, misalnya pada jaman dahulu ketika para ulama di pulau jawa
menyebarkan ajaran agama Islam mereka menyebarkan dakwahnya melalui kesenian
wayang yang isinya tentang ajaran-ajaran agama Islam. Maka dengan adanya
kesenian wayang ini digunakan sebagai media dakwah Islam dan daya tarik
masyarakat untuk menyaksikan kesenian wayang tersebut.
Pada saat ini kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sudah sangat maju, di buktikan dengan adanya
penemuan-penemuan baru yang fungsinya untuk memudahkan segala aktifias manusia,
begitu juga kemudahan dalam derdakwah bagi para ulama. Ada banyak
hal yang sudah dihasilkan oleh teknologi untuk dakwah Islam sebagai bagian dari
integrasi itu sendiri, Al Quran digital, akses hadist shahih yang bisa
dilakukan dimana saja,silahturahmi yang tidak pernah putus karena sudah ada HP,
jejaring sosial dan sebagainya. Bahkan media pembelajaran yang menyenangkan
dengan menggunakan game untuk memperdalam ilmu Islam itu sendiri.
Contok-contoh
Kontribusi Iptek dan Seni bagi dakwah Islam
Ø Arsitektur masjid yang indah membuat
para jamaah senang dan nyaman beribadah
Ø Wayang sebagai media dakwah bagi
Wali Songo
Ø Perkembangan busana muslim seperti
jilbab
Ø Media dakwah di televisi, internet,
koran, dan majalah
Ø Penggunaan internet, blog, dan situs
Islami sepertisuara Islam, Muslim,dll
Ø Al Quran dan Hadist dalam bentuk
digital semuga mempermudah pencarian ayat, terjemaah, tafsiran Al Quran
Ø Penggunaan LCD sebagai media dakwah
sehingga lebih jelas dipahami.